Salju

Senin, 27 Mei 2013

HIDAYAH : MESJID KUBAH EMAS DARI BAWAH POHON RINDANG


               Kenalkan namaku Ratu Balqis, orang memanggilku kentut, atut, kadang hey. Aku sudah akrab dengan panggilan itu, aku hidup sendiri dikota besar, aku terbiasa mandiri. Menginjak dewasa aku tak mengenal yang namanya agama yang sejak lahir tercatat dicatatan sipilku, awalnya aku acuh dan tak pernah ingin mengetahui tentang Islam. Tapi semenjak aku mengenal seorang sahabat bernama Khusnul dia membuat aku tertarik mengenal Islam lebih dalam, ia menuntunku satu persatu rukun Islam yang menurutku jauh dari kehidupanku.
            Berawal pertemuanku diperpustakaan sekolah, khusnul yang diselimuti kerudung panjang yang hampir menutupi setengah tubuh bagian atasnya tersenyum penuh keteduhan membuat aku iri dengan pemilik senyum itu.
“sedang cari buku apa?” sapa khusnul dengan lembut
“ehhmmm gak ada cuman liat-liat aja” aku tergugup suara lembut khusnul berbeda dengan suara-suara yang selama ini aku dengar.
“kenalkan aku khusnul kelas XI A”khusnul menghulurkan tangan mungilnya yang hanya terlihat setengah jari-jari tangan
“ratu balqis XI D” aku sungkan menjabat tangannya, aku merasa aneh, dan aku berlalu tanpa menghiraukan tangan khusnul yang masih terjulur.
“datanglah ke markas kami Rohis disebelah ruangan UKS” teriakan khusnul.
Aku hanya mendengar sekilas tak sadar aku membawa buku “mengenal Islam karya Eko Haryanto Abu Ziyad”.
Aku berlalu dan melupakan peristiwa itu berminggu-minggu. Tepat ujian semester pertama, aku kembali lagi ke perpus, melewati rak kumpulan buku-buku agama islam, aku teringat khusnul dan ruangan Rohis. Entah apa yang aku bayangkan, ku tinggalkan tempat itu dan menyusuri ruang UKS, tepat disampingnya sebuah ruangan kecil penuh tanaman talas dan bunga kertas beragam warna terlihat indah mengapa tempat ini asing bagi ku, atau mungkin ia terletak disudut sekolah yang hampir tak terlihat.
Aku berdiri disamping pintu, tulisan dan kalimat-kalimat arab Terpampang dengan jelas didalamnya, aku hanya tahu kata Bismillah dan ucapkan assalamualaikum sebelum masuk. Terdengar olehku bisikan halus dan aku coba untuk mengintip di celah jendela. Khusnul gadis itu sepertinya sedang memberikan arahan kepada beberapa orang wanita, ada yang berkerudung sama sepertinya ada pula yang hanya menyarungnya sambil sesekali diperbaiki karena terjatuh, ada pula yang sama sepertiku.
Jantung ku berdetak kencang tanganku memegang erat sudut jendela, entah mengapa aku ingin menangis dan bahkan terjatuh, tanpa ku sadari aku menjatuhkan pot bunga disampingku membuat semua yang ada didalam memandang jendela dan aku bergegas lari sekencangnya. Terlihat khusnul mengejarku namun aku bisa bersembunyi dibalik pepohonan.
Ujian semester telah usai, waktunya liburan, semua teman saling memamerkan tempat yang akan mereka kunjungi.
“hey atut lu liburan kemana? Achh pasti di kamar bulukan lu kan haaa” seluruh kelas menertawakanku
“hey tut tut gak usah repot-repot dikampung sebelah ada kerajinan tembikar, ya udah lu kesono aja hahahaa”
Aku terbiasa dengan suara-suara itu, sebagai gadis yang kurang sempurna aku wajar mendapatkan perlakuan seperti itu. Sejak peristiwa kecelakaan bus yang menimpa rumah kami dan menewaskan ayah dan ibu ku, aku dititipkan di panti asuhan, dengan disiplin yang tinggi membuat bathinku meronta dan aku memilih hidup dijalanan hingga akhirnya sebuah keluarga sederhana menampungku.

Tetapi bukan Balqis jika aku hanya menerima begitu saja, aku banting tulang dan memilih untuk kos sejak aku menginjak bangku sekolah. Terlalu indah nama ku, tak seindah hidupku. Kadang aku ingin mengantinya. Aku termenung dibawah pohon, hingga seseorang menepuk bahuku dan aku tersentak.
“hayyo lagi termenung ya?” wajah lembut penuh cahaya khusnul membuat aku terpaku “kadang duduk dibawah pohon membuat kita lebih tenang memandang kedepan”
“kenapa kamu selalu ada, dimana aku berada?” aku memberanikan untuk bersuara walau sedikit tertahan ditenggorokan.
“karena aku sama seperti mu berada ditempat-tempat dimana aku ingin berada” khusnul melemparkan senyum
“kita beda” aku menjawab dengan sinis dipikiranku dia pasti hanya menyenangkan hati ku, simpatik karena aku tak memiliki teman. Aku berdiri dan hendak meninggalkan khusnul.
“kita memang berbeda, aku bisa menerima persahabatan sedang kamu tidak, aku bisa tesenyum saat seseorang tak menerima keberadaanku sedang kamu menghindar dengan sinis, tapi kita sama, sama-sama membutuhkan, kita membutuhkan orang lain walaupun kita bisa melakukannya sendiri, kita butuh mereka untuk memberikan apresiasi atas apa yang kita lakukan”
Jawaban khusnul menusuk-nusuk naluriku, air mataku menetes. Aku tak pernah terlihat lemah seperti ini walaupun hinaan yang paling hina sekali pun , aku tetunduk, suara isak tangisku terdengar.
“ratu balqis....mari kita bersahabat, jika tidak ada tempat yang kamu kunjungi di liburan ini, ikutlah dengan ku, kebetulan Rohis akan melakukan rihlah”
Baru kali ini nama ku dipanggil dengan sempurna oleh seseorang. Aku merasa dihargai dengan panggilan itu. Mungkin ini tujuan kedua orang tua ku memberi nama indah itu.
Minggu pagi aku bersiap dengan celana jin biru, baju kaos oblong plus jaket rajut, ransel penuh pakaian dan makanan untuk 5 hari. Aku memutuskan untuk ikut khusnul rihlah di lereng pegunungan. Semua persiapan telah aku siapkan, yang paling utama kata khusnul bawa Qur’an dan alat sholat, aku sempat binggung aku tak memiliki itu semua, tapi khusnul tahu sebelum kebingungan ku membuatku membatalkan berangkat, ia memberikan aku sepasang mukena putih dan Al-Qur’an kecil sekaligus terjemahan.
Sebuah bus telah siap menunggu ditempat kami dikumpulkan, aku orang yang paling terakhir datang, aku sempat menghentikan langkah semangatku, saat kulihat semua berpakaian berbeda denganku, semuanya menggunakan rok dan berkerudung panjang, dari jauh keraguanku terpatah khusnul melambaikan tangannya dan menjemputku dari tempatku terpaku.
“ayoo balqis, kita udah terlambat” sapa khusnul dengan suara merdu, aku tersenyum dia mengandeng tanganku
“kenalkan sahabat semua ini Balqis teman baru kita” aku diseret ditengah gerombolan wanita aneh menurutku, dengan raut wajah mereka memandangku dengan beragam mimik. Aku menjadi malu, hati ku berdesis kenapa khusnul tidak menyuruhku berpakaian seperti ini kemaren?.
“ayo Balqis perkenalkan namamu” bisik khusnul ditelingaku
“hai...emmm assalamualaikum, namaku Ratu Balqis dari SMAN 26” aku terbata-bata salamku dijawab dengan nyaring seperti bunyi koor sekolah disaat latihan lagu Indonesia Raya
“selamat bergabung Ratu Balqis” salah satu dari kerumunan wanita menyambutku dengan ramah seramah khusnul.
Susana menjadi berubah, aku tidak kaku berada diantara mereka, kadang salah satu diantara mereka melempar senyum, kadang ada yang melempar joke selama di dalam Bus. Aku benar-benar menikmati perjalanan ini. Aku seperti berada ditempat yang tepat dimana tidak ada satu pun diantara mereka yang memanggilku atut, hey dan melemparkan sesuatu jika aku meminjamnya.
Kami mendirikan kemah, mencari kayu bakar untuk api unggun dan memasak. Tiba malam kami membuat lingkaran didepan api, disaat itu khusnul berdiri dan menyapa “assalamualaikum semua” dijawab serentak “wa alaikum salam
“lihatlah api yang membara ini, ia berasal dari kayu kering yang telah ditinggalkan pohonnya, semakin banyak kayu kering yang engkau masukkan kedalamnya maka api ini akan semakin besar dan semakin bertahan lama” khusnul memulai pembicaraan dengan kiasan yang tidak aku mengerti, tapi penjelasannya membuat semua terpaku.
“anggap semua masalah yang kita hadapi adalah kayu kering itu, semakin banyak masalah yang datang maka semakin membuat kita semakin kuat, jika kita bisa memanfaatkan masalah itu ketempat yang positif, bukan menjadikannya sebagai ladang keluhan sehingga kita pesimis dan menjadi pribadi yang goyah” serrrrr dada ku berdetak perumpamaan itu benar-benar tepat memanah jantungku. Aku tertunduk “kayu kering itu..”bisikku
“masalah itu berasal dari diri kita sendiri, jadi benahi diri, perbanyak menginggat Allah Azza Wa Jalla dan Istigfar kepadaNYa karena dia Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Jangan menghukum diri sendiri, karena rasa sakit itu akan kembali kepada diri kita sendiri”
Dimalam yang sunyi aku masih didepan api unggun yang semakin redup, semua peserta rihlah terlelap dalam mimpi mereka masing-masing. Aku masih merenung kata-kata khusnul, hingga airmata ku berlinang.
“Belum tidur balqis?” sebuah suara mengejutkanku, dia khusnul
“ aku mau berhijab” jawabku tiba-tiba
“subhanallah, alhamdullilah akhirnya hidayah itu muncul, apa hatimu sudah yakin?” tanya khusnul sambil menatap wajahku dengan sumringah, aku mengangguk yakin “insya Allah”
Sepuluh tahun berlalu, aku duduk dihadapan jendela kerjaku sambil melihat tetesan hujan merayap di kaca tepat berada disamping meja kerjaku. Lamunanku buyar saat suara azan di ponselku berkumandang. Bergegas ku tinggalkan pekerjaan dan menuju musolla kantor dilantai bawah.
“mba balqis...” sebuah suara mengejarku dari belakang usai aku menunaikan sholat zuhur. Aku menoleh, mona pegawai kebersihan kantor berlari-lari.
“ada apa mon? keliatannya buru-buru banget?”
“iya mba, nih ada titipan dari lantai 3, katanya untuk mba Ratu Balqis” mona memberikan aku sebuah amplop putih panjang tanpa pengirim”
“dari siapa ini” tanya ku dengan penasaran
“maaf mba saya gak tahu, orangnya tinggi putih, berbadan kekar dia gak nyebutin nama mba..”
“ya sudah tidak apa apa, lain kali ditanyain ya, terimakasih ya mon”
“iya mba..” jawab mona dan aku berlalu sambil menenteng amplop misterius.
Pukul 17.00 wib aku masih berkutat dengan PC kantorku, ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, promosi produk baru yang bakal kami luncurkan memutar otak ku sebagai manajer pemasaran, besok akan ada rapat kerja dengan divisi periklanan, semuanya harus selesai malam ini juga. Amplop putih misterius itu pun tak tersentuh olehku.
Tepat pukul 23.15 wib semua pekerjaanku kelar, tinggal review itu bisa dikerjakan dirumah. Aku meregangkan seluruh otot-ototku, amplop putih itu menjadi fokusku kali ini. Ku robek bagian atasnya selembar hvs putih terlipat empat, tulisan Calibri font 12 hanya satu paragraf.
Assalamualaikum
Ratu Balqis, maaf cara ini terlalu kuno, tapi untuk seorang muslimah yang kutunggu selama sepuluh tahun ana hanya mampu memberikan secarik kertas ini, sebagai penghubung bagi pengecut ini untuk memberanikan diri. Ana mengundang anti diacara pengajian di Mesjid Al Ummah disamping rumah Ust. Subhan Mukmin di akhir minggu ini. Kedatangan anti sangat ana tunggu.
Wassalam_sahabat lama.
Aku terkejut sepuluh tahun, aku terus mengingat pemilik dari kata-kata ini, yang pasti dia adalah lelaki. Aku memutar kenanganku sepuluh tahun yang lalu dan tersentak nama Ust. Subhan Mukmin, guru ngajiku semasa aku kuliah. Tapi sepengetahuanku aku tidak pernah mengenal lelaki bahkan aku terlalu sering menolak lelaki yang mencoba untuk menjadikanku teman maksiat dunia “pacaran”. Aku menarik nafas panjang dan mengatur jadualku kembali untuk hari minggu.
Aku melangkah dengan gontai, ku lihat pohon beringin yang telah berusia lebih dari sepuluh tahun, dulu pohon ini masih setinggi tubuhku, sekarang ia telah tinggi menjulang, dibawahnya telah ada kursi-kursi duduk permanen yang sengaja dibuat untuk menikmati udara segar disiang hari. Tidak banyak berubah, kembang sepatu warna pink pemisah antara musolla dan rumah Ust. Subhan Mukmin masih terlihat indah, rapi. Pohon pinang merah masih tumbuh lebat dan indah disamping jendela mesjid yang berbatasan dengan  rumah Pak Ust.
Jemaah pengajian telah ramai memenuhi Musolla sepertinya aku terlambat. “Ceramah sudah dimulai 15 menit yang lalu mba..” jawab seorang jamaah saat aku tanya apakah aku terlambat jauh. Ceramah Ust. Subhan Mukmin selalu ditunggu warga disini bahkan ditempat ia selalu kunjungi, beliau menyampaikan dengan ringan setiap ilmu agama yang ia ajarkan apalagi untuk pemula sepertiku. Tapi tidak seperti biasanya aku fokus dengan isi ceramah, tapi mataku sibuk berkeliaran memandang sekitar terutama di jamaah pria. Astaugfirullah aku tertunduk, sepucuk surat itu membuat aku lupa akan zina mata dan zina hati. Aku tidak benar-benar datang kemari untuk mendengarkan ceramah melainkan penasaran dengan orang yang tidak aku ketahui bentuknya.
Air mataku menetes, aku terlihat hina, aku bermohon ampun kepadaNya dalam hatiku.
“sesungguhnya hidup sendiri adalah lebih baik daripada hidup dengan orang yang salah tetapi MENIKAH adalah yang lebih baik”
Aku tersentak dengan ceramah Ust. Subhan, kata-kata itu persis seperti terakhir aku bertemu dengannya di musolla ini, saat aku mengundang beliau diacara wisudaku. Sudah hampir enam tahun tempat ini tak terjamah olehku.
 Satu jam berlalu terasa baru lima menit aku duduk disini, “Ratu Balqis..” sebuah suara memanggilku dari belakang. “ ummi...” aku memeluk sosok wanita yang telah berusia setengah abad itu, mencium tangannya.
“apakabar ummi, maaf balqis jarang kemari”
“ummi tahu, kamu sekarang tambah sibuk, tapi ingat ibadah adalah nomor satu”
 “insyaallah ummi, pesan ummi selalu ananda lakukan”
“ibadah itu banyak anakku, bersadakoh, sholat, menolong orang, termasuk nikah.” Ummi menatapku tajam. “berapa umurmu nak? Apakah sudah terpikir olehmu untuk mencari pendamping dunia dan akhiratmu kelak?” Pertanyaan ummi bak hujan panah yang tak dapat aku hindari, pertanyaan itu selalu terngiang ditelingaku, hampir membuat aku stres. “Allah belum mempertemukanku dengan Imamku, ummi” aku mencoba untuk senyum pahit, ummi menyentuh bahuku, “mampirlah dulu kerumah ada seseorang yang ingin menemuimu”.
Hatiku berdebar kencang, teringat akan sepucuk surat tak bernama. Kukuatkan iman untuk menerima ceramah dari ustaz dan Ummi, mereka berdua sudah kuanggap seperti kedua orangtuaku sendiri.
Diruang tamu pak Ustaz sudah menunggu, beliau berbincang-bincang akrab dengan seorang tamu yang hanya kulihat punggungnya. Ummi mempersilahkan masuk lewat pintu samping, rumah ini masih asri sama seperti pertama kali aku masuk. Aku berbicara ringan dengan ummi, sedikit bercanda. Tapi sebenarnya hatiku masih tertanya-tanya mengapa si pengirim surat itu tidak menemuiku.
“sedang melamun apa nak?” ummi memukul pundakku
“ah emm tidak ada Ummi, hanya mengingat masalalu sewaktu masih dibimbing pak ustaz dan ummi” aku menyangkal dalam hati aku berucap Ya Allah Maafkan Hamba yang telah berbohong dihadapan Ummi.
“balqis, jika tidak keberatan ummi mau nanya sesuatu yang sedikit pribadi” pertanyaan ummi terdengar formal tidak seperti biasanya, hati ku semakin kencang entah mengapa degup jantukku terus terpompa dengan cepat selama disini. Aku mencoba untuk tetap tenang, “ada apa ummi, apa pun yang ummi tanyakan insyallah balqis akan menjawabnya”
“selama balqis disini, ummi melihat perkembangan yang semakin baik, kamu tumbuh menjadi gadis solehah insyaallah. Sebagai orang tua, ummi ingin melihat anaknya bahagia dunia dan akhirat, jika ini bukan sebuah kelancangan ummi ingin mempertemukanmu dengan seseorang yang sudah hampir sepuluh tahun dirimu kenal”
Aku terkejut ku tatap wajah ummi dengan rasa penasaran dan cemas yang teramat besar, disatu sisi aku untuk pertama kalinya berhadapan dengan kondisi canggung ini yaitu saat seorang wanita dihadapkan kepada pertanyaan “ya atau tidak” untuk masa depannya. Disisi yang lain aku terhenyak sepuluh tahun pria ini menungguku, siapakah pria ini? Mengapa tidak dari dulu dia menanyakanku? Apakah dia menungguku untuk benar-benar menjadi wanita yang sudah siap ditempah menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya kelak?
“temui ia didepan, nanti nak balqis akan tahu jawabannya” aku masih terdiam seolah-olah ummi tahu apa yang aku pikirkan. Dengan basmallah aku bersama ummi melangkah ruang tamu, sayup-sayup terdengar suara dari ruang tamu.
“alhamdullilah, balqis sudah datang, ayo silahkan duduk, nak” Ust. Subhan mempersilahkan aku duduk, yang kujawab dengan anggukan. “sudah lama tidak mendengar kabarmu nak”
“Maaf pak ustaz, kesibukan membuat ananda lalai dan melupakan keluarga disini, sekali lagi balqis mohon maaf pak ustaz”
“tidak apa-apa anakku, hal itu sudah biasa, balqis sehat kita semua gembira, bukan begitu ummi” ust. Subhan memang murah hati, baik dan selalu bercanda tanpa harus menghilangkan wibawa beliau sebagai seorang penceramah dan imam keluarga.
“abi sepertinya ada yang lebih tidak sabar untuk dikenalkan” ummi sengaja mencari celah, membuat wajahku merah seperti tomat begitu juga tamu yang sedari tadi menemani Ust. Subhan. “oh..iya hampir lupa abi, ummi, maklum sudah tua” kami tertawa kecil memecah kecanggungan.
“balqis, masih ingat dengan Hilman?”
Tanpa melihat wajahnya, aku memutar memori ku hingga ke sepuluh tahun yang lalu. Saat rihlah di lereng pegunungan, ya khusnul sempat memperkenalkan ku dengan seseorang yang tak lain adalah kakaknya sendiri “hilman” dadaku berdegup kencang, perlahan kutatap wajah pria yang dari tadi dan mungkin ialah pengirim amplop putih itu.
“Assalamualaikum ukhti, masih ingat ana? Ana kakaknya Khusnul, kita bertemu sepuluh tahun yang lalu”
Aku membenarkan dalam hatiku, kembali aku tertunduk, masyaallah pertemuan itu hampir tak pernah terlintas dibenakku bahkan aku teramat malu disaat aku bertemu pada waktu itu masih dalam keadaan polos tanpa hijab.
“nak balqis, hilman datang bukan hanya ingin mengingat masalalu tapi ada niat mulia yang ingin ia sampaikan, dan sudah diamanahkan ke Abi”
Tanpa basa basi ust. Subhan langsung ketitik persoalan yang membuat tubuhku panas dingin, apakah ini yang dirasakan kebanyakan wanita dihadapan orang yang akan dijadikan Imam, akh aku terlalu dalam menghayati kata-kata itu apakah ini lamaran? Hati ku terus berdesir diusiaku yang hampir angka 3, membuat aku merasa canggung dalam posisi ini.
“sebagai guru dari hilman, abi ingin menyampaikan niat baik hilman untuk mempersunting nak Balqis sebagai pendamping hidupnya dunia dan akhirat, dan sebagai orang tua Balqis, abi hanya berharap jawaban dari ananda tanpa paksaan”
Aku dan hilman masih tertunduk kaku, aku memutar balikkan jemariku meremas-remasnya, terlihat memerah tapi tak ada yang kurasakan, kutarik nafasku panjang-panjang “ya Abi Insyaallah balqis bisa menerima amanah itu”.
Dengan serentak Ust. Subhan dan Ummi memanjatkan kata “aamiin” alhamdullilah. Hilman yang sedari harap-harap cemas pun bernafas lega. Suasana berubah, ruangan yang hanya lebar 4x4 meter itu seperti seluas lapangan bola yang berisi bunga-bunga indah yang sedang mekar. Kumbang-kumbang saling saut menyaut memilih kembang, serbuk sari yang terbawa angin seperti salju turun dimusim dingin. Indah.
3 tahun berlalu.
Reuni SMAN 26, terasa riuh rendah, sayang kepala sekolah ku telah berpulang KeRahmatullah 5 tahun yang lalu, padahal aku ingin sekali bertemu beliau disini. Aku ingin Berterimakasih kepadanya disinilah kenangan itu berawal.
“ummii...lihat” suara putri kecilku membuyarkan aku azzahra baru berumur 2,5 tahun tapi kata yang ia keluarkan sudah begitu jelas. Gadis kecilku itu memegang seekor kupu-kupu berwarna kuning kecoklatan. Aku tersenyum. Pandanganku langsung tertuju di pohon rindang yang tingginya hampir melebihi tinggi sekolah ini.  Pohon yang dahulu masih terlalu muda bahkan hampir tumbang karena aku terlalu sering bersandar disana.
Kurebahkan tubuhku dan berselunjur seperti yang aku lakukan dimasa-masa SMA dulu, kupejamkan mata sejenak. Dan disaat aku membuka mata, aku terpana mataku berkaca-kaca pemandangan dihapanku sebuah Mesjid Megah Berkubah Emas terlihat indah dari bawah pohon Rindang ini.
Allah Ya Karim sungguh indah misteri yang kau berikan kepadaku, Hidayah ini.
SELESAI.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar