Kenalkan namaku Ratu Balqis, orang memanggilku kentut, atut, kadang hey.
Aku sudah akrab dengan panggilan itu, aku hidup sendiri dikota besar, aku
terbiasa mandiri. Menginjak dewasa aku tak mengenal yang namanya agama yang
sejak lahir tercatat dicatatan sipilku, awalnya aku acuh dan tak pernah ingin
mengetahui tentang Islam. Tapi semenjak aku mengenal seorang sahabat bernama
Khusnul dia membuat aku tertarik mengenal Islam lebih dalam, ia menuntunku satu
persatu rukun Islam yang menurutku jauh dari kehidupanku.
Berawal
pertemuanku diperpustakaan sekolah, khusnul yang diselimuti kerudung panjang
yang hampir menutupi setengah tubuh bagian atasnya tersenyum penuh keteduhan
membuat aku iri dengan pemilik senyum itu.
“sedang cari buku apa?” sapa khusnul dengan lembut
“ehhmmm gak ada cuman liat-liat aja” aku tergugup suara
lembut khusnul berbeda dengan suara-suara yang selama ini aku dengar.
“kenalkan aku khusnul kelas XI A”khusnul menghulurkan
tangan mungilnya yang hanya terlihat setengah jari-jari tangan
“ratu balqis XI D” aku sungkan menjabat tangannya, aku
merasa aneh, dan aku berlalu tanpa menghiraukan tangan khusnul yang masih
terjulur.
“datanglah ke markas kami Rohis disebelah ruangan UKS” teriakan
khusnul.
Aku hanya mendengar sekilas tak sadar
aku membawa buku “mengenal Islam karya Eko Haryanto Abu Ziyad”.
Aku berlalu dan melupakan peristiwa
itu berminggu-minggu. Tepat ujian semester pertama, aku kembali lagi ke perpus,
melewati rak kumpulan buku-buku agama islam, aku teringat khusnul dan ruangan
Rohis. Entah apa yang aku bayangkan, ku tinggalkan tempat itu dan menyusuri
ruang UKS, tepat disampingnya sebuah ruangan kecil penuh tanaman talas dan
bunga kertas beragam warna terlihat indah mengapa tempat ini asing bagi ku,
atau mungkin ia terletak disudut sekolah yang hampir tak terlihat.
Aku berdiri disamping pintu, tulisan
dan kalimat-kalimat arab Terpampang dengan jelas didalamnya, aku hanya tahu
kata Bismillah dan ucapkan assalamualaikum sebelum masuk. Terdengar
olehku bisikan halus dan aku coba untuk mengintip di celah jendela. Khusnul
gadis itu sepertinya sedang memberikan arahan kepada beberapa orang wanita, ada
yang berkerudung sama sepertinya ada pula yang hanya menyarungnya sambil
sesekali diperbaiki karena terjatuh, ada pula yang sama sepertiku.
Jantung ku berdetak kencang tanganku
memegang erat sudut jendela, entah mengapa aku ingin menangis dan bahkan
terjatuh, tanpa ku sadari aku menjatuhkan pot bunga disampingku membuat semua
yang ada didalam memandang jendela dan aku bergegas lari sekencangnya. Terlihat
khusnul mengejarku namun aku bisa bersembunyi dibalik pepohonan.
Ujian semester telah usai, waktunya
liburan, semua teman saling memamerkan tempat yang akan mereka kunjungi.
“hey atut lu liburan kemana? Achh
pasti di kamar bulukan lu kan haaa” seluruh kelas menertawakanku
“hey tut tut gak usah repot-repot
dikampung sebelah ada kerajinan tembikar, ya udah lu kesono aja hahahaa”
Aku terbiasa dengan suara-suara itu,
sebagai gadis yang kurang sempurna aku wajar mendapatkan perlakuan seperti itu.
Sejak peristiwa kecelakaan bus yang menimpa rumah kami dan menewaskan ayah dan
ibu ku, aku dititipkan di panti asuhan, dengan disiplin yang tinggi membuat
bathinku meronta dan aku memilih hidup dijalanan hingga akhirnya sebuah
keluarga sederhana menampungku.
Tetapi bukan Balqis jika aku hanya
menerima begitu saja, aku banting tulang dan memilih untuk kos sejak aku
menginjak bangku sekolah. Terlalu indah nama ku, tak seindah hidupku. Kadang
aku ingin mengantinya. Aku termenung dibawah pohon, hingga seseorang menepuk
bahuku dan aku tersentak.
“hayyo lagi termenung ya?” wajah
lembut penuh cahaya khusnul membuat aku terpaku “kadang duduk dibawah pohon
membuat kita lebih tenang memandang kedepan”
“kenapa kamu selalu ada, dimana aku
berada?” aku memberanikan untuk bersuara walau sedikit tertahan ditenggorokan.
“karena aku sama seperti mu berada
ditempat-tempat dimana aku ingin berada” khusnul melemparkan senyum
“kita beda” aku menjawab dengan sinis
dipikiranku dia pasti hanya menyenangkan hati ku, simpatik karena aku tak
memiliki teman. Aku berdiri dan hendak meninggalkan khusnul.
“kita memang berbeda, aku bisa menerima
persahabatan sedang kamu tidak, aku bisa tesenyum saat seseorang tak menerima
keberadaanku sedang kamu menghindar dengan sinis, tapi kita sama, sama-sama
membutuhkan, kita membutuhkan orang lain walaupun kita bisa melakukannya
sendiri, kita butuh mereka untuk memberikan apresiasi atas apa yang kita
lakukan”
Jawaban khusnul menusuk-nusuk
naluriku, air mataku menetes. Aku tak pernah terlihat lemah seperti ini
walaupun hinaan yang paling hina sekali pun , aku tetunduk, suara isak tangisku
terdengar.
“ratu balqis....mari kita bersahabat,
jika tidak ada tempat yang kamu kunjungi di liburan ini, ikutlah dengan ku,
kebetulan Rohis akan melakukan rihlah”
Baru kali ini nama ku dipanggil
dengan sempurna oleh seseorang. Aku merasa dihargai dengan panggilan itu.
Mungkin ini tujuan kedua orang tua ku memberi nama indah itu.
Minggu pagi aku bersiap dengan celana
jin biru, baju kaos oblong plus jaket rajut, ransel penuh pakaian dan makanan
untuk 5 hari. Aku memutuskan untuk ikut khusnul rihlah di lereng pegunungan.
Semua persiapan telah aku siapkan, yang paling utama kata khusnul bawa Qur’an
dan alat sholat, aku sempat binggung aku tak memiliki itu semua, tapi khusnul
tahu sebelum kebingungan ku membuatku membatalkan berangkat, ia memberikan aku sepasang
mukena putih dan Al-Qur’an kecil sekaligus terjemahan.
Sebuah bus telah siap menunggu ditempat
kami dikumpulkan, aku orang yang paling terakhir datang, aku sempat
menghentikan langkah semangatku, saat kulihat semua berpakaian berbeda
denganku, semuanya menggunakan rok dan berkerudung panjang, dari jauh
keraguanku terpatah khusnul melambaikan tangannya dan menjemputku dari tempatku
terpaku.
“ayoo balqis, kita udah terlambat”
sapa khusnul dengan suara merdu, aku tersenyum dia mengandeng tanganku
“kenalkan sahabat semua ini Balqis
teman baru kita” aku diseret ditengah gerombolan wanita aneh menurutku, dengan
raut wajah mereka memandangku dengan beragam mimik. Aku menjadi malu, hati ku
berdesis kenapa khusnul tidak menyuruhku berpakaian seperti ini kemaren?.
“ayo Balqis perkenalkan namamu” bisik
khusnul ditelingaku
“hai...emmm assalamualaikum, namaku
Ratu Balqis dari SMAN 26” aku terbata-bata salamku dijawab dengan nyaring
seperti bunyi koor sekolah disaat latihan lagu Indonesia Raya
“selamat bergabung Ratu Balqis” salah
satu dari kerumunan wanita menyambutku dengan ramah seramah khusnul.
Susana menjadi berubah, aku tidak
kaku berada diantara mereka, kadang salah satu diantara mereka melempar senyum,
kadang ada yang melempar joke selama di dalam Bus. Aku benar-benar menikmati
perjalanan ini. Aku seperti berada ditempat yang tepat dimana tidak ada satu
pun diantara mereka yang memanggilku atut, hey dan melemparkan sesuatu jika aku
meminjamnya.
Kami mendirikan kemah, mencari kayu
bakar untuk api unggun dan memasak. Tiba malam kami membuat lingkaran didepan
api, disaat itu khusnul berdiri dan menyapa “assalamualaikum semua” dijawab serentak “wa alaikum salam”
“lihatlah api yang membara ini, ia
berasal dari kayu kering yang telah ditinggalkan pohonnya, semakin banyak kayu
kering yang engkau masukkan kedalamnya maka api ini akan semakin besar dan
semakin bertahan lama” khusnul memulai pembicaraan dengan kiasan yang tidak aku
mengerti, tapi penjelasannya membuat semua terpaku.
“anggap semua masalah yang kita
hadapi adalah kayu kering itu, semakin banyak masalah yang datang maka semakin
membuat kita semakin kuat, jika kita bisa memanfaatkan masalah itu ketempat
yang positif, bukan menjadikannya sebagai ladang keluhan sehingga kita pesimis
dan menjadi pribadi yang goyah” serrrrr dada ku berdetak perumpamaan itu
benar-benar tepat memanah jantungku. Aku tertunduk “kayu kering itu..”bisikku
“masalah itu berasal dari diri kita
sendiri, jadi benahi diri, perbanyak menginggat Allah Azza Wa Jalla dan
Istigfar kepadaNYa karena dia Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Jangan
menghukum diri sendiri, karena rasa sakit itu akan kembali kepada diri kita
sendiri”
Dimalam yang sunyi aku masih didepan
api unggun yang semakin redup, semua peserta rihlah terlelap dalam mimpi mereka
masing-masing. Aku masih merenung kata-kata khusnul, hingga airmata ku berlinang.
“Belum tidur balqis?” sebuah suara
mengejutkanku, dia khusnul
“ aku mau berhijab” jawabku tiba-tiba
“subhanallah, alhamdullilah akhirnya
hidayah itu muncul, apa hatimu sudah yakin?” tanya khusnul sambil menatap
wajahku dengan sumringah, aku mengangguk yakin “insya Allah”
Sepuluh tahun berlalu, aku duduk
dihadapan jendela kerjaku sambil melihat tetesan hujan merayap di kaca tepat
berada disamping meja kerjaku. Lamunanku buyar saat suara azan di ponselku
berkumandang. Bergegas ku tinggalkan pekerjaan dan menuju musolla kantor
dilantai bawah.
“mba balqis...” sebuah suara
mengejarku dari belakang usai aku menunaikan sholat zuhur. Aku menoleh, mona
pegawai kebersihan kantor berlari-lari.
“ada apa mon? keliatannya buru-buru
banget?”
“iya mba, nih ada titipan dari lantai
3, katanya untuk mba Ratu Balqis” mona memberikan aku sebuah amplop putih
panjang tanpa pengirim”
“dari siapa ini” tanya ku dengan
penasaran
“maaf mba saya gak tahu, orangnya
tinggi putih, berbadan kekar dia gak nyebutin nama mba..”
“ya sudah tidak apa apa, lain kali
ditanyain ya, terimakasih ya mon”
“iya mba..” jawab mona dan aku
berlalu sambil menenteng amplop misterius.
Pukul 17.00 wib aku masih berkutat
dengan PC kantorku, ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, promosi
produk baru yang bakal kami luncurkan memutar otak ku sebagai manajer
pemasaran, besok akan ada rapat kerja dengan divisi periklanan, semuanya harus
selesai malam ini juga. Amplop putih misterius itu pun tak tersentuh olehku.
Tepat pukul 23.15 wib semua
pekerjaanku kelar, tinggal review itu bisa dikerjakan dirumah. Aku meregangkan
seluruh otot-ototku, amplop putih itu menjadi fokusku kali ini. Ku robek bagian
atasnya selembar hvs putih terlipat empat, tulisan Calibri font 12 hanya satu
paragraf.
“Assalamualaikum”
Ratu Balqis, maaf cara ini terlalu
kuno, tapi untuk seorang muslimah yang kutunggu selama sepuluh tahun ana hanya
mampu memberikan secarik kertas ini, sebagai penghubung bagi pengecut ini untuk
memberanikan diri. Ana mengundang anti diacara pengajian di Mesjid Al Ummah disamping
rumah Ust. Subhan Mukmin di akhir minggu ini. Kedatangan anti sangat ana
tunggu.
Wassalam_sahabat lama.
Aku terkejut sepuluh tahun, aku terus
mengingat pemilik dari kata-kata ini, yang pasti dia adalah lelaki. Aku memutar
kenanganku sepuluh tahun yang lalu dan tersentak nama Ust. Subhan Mukmin, guru
ngajiku semasa aku kuliah. Tapi sepengetahuanku aku tidak pernah mengenal
lelaki bahkan aku terlalu sering menolak lelaki yang mencoba untuk menjadikanku
teman maksiat dunia “pacaran”. Aku menarik nafas panjang dan mengatur jadualku
kembali untuk hari minggu.
Aku melangkah dengan gontai, ku lihat
pohon beringin yang telah berusia lebih dari sepuluh tahun, dulu pohon ini
masih setinggi tubuhku, sekarang ia telah tinggi menjulang, dibawahnya telah
ada kursi-kursi duduk permanen yang sengaja dibuat untuk menikmati udara segar
disiang hari. Tidak banyak berubah, kembang sepatu warna pink pemisah antara
musolla dan rumah Ust. Subhan Mukmin masih terlihat indah, rapi. Pohon pinang
merah masih tumbuh lebat dan indah disamping jendela mesjid yang berbatasan
dengan rumah Pak Ust.
Jemaah pengajian telah ramai memenuhi
Musolla sepertinya aku terlambat. “Ceramah sudah dimulai 15 menit yang lalu
mba..” jawab seorang jamaah saat aku tanya apakah aku terlambat jauh. Ceramah
Ust. Subhan Mukmin selalu ditunggu warga disini bahkan ditempat ia selalu
kunjungi, beliau menyampaikan dengan ringan setiap ilmu agama yang ia ajarkan
apalagi untuk pemula sepertiku. Tapi tidak seperti biasanya aku fokus dengan
isi ceramah, tapi mataku sibuk berkeliaran memandang sekitar terutama di jamaah
pria. Astaugfirullah aku tertunduk, sepucuk surat itu membuat aku lupa akan
zina mata dan zina hati. Aku tidak benar-benar datang kemari untuk mendengarkan
ceramah melainkan penasaran dengan orang yang tidak aku ketahui bentuknya.
Air mataku menetes, aku terlihat hina,
aku bermohon ampun kepadaNya dalam hatiku.
“sesungguhnya hidup sendiri adalah
lebih baik daripada hidup dengan orang yang salah tetapi MENIKAH adalah yang
lebih baik”
Aku tersentak dengan ceramah Ust.
Subhan, kata-kata itu persis seperti terakhir aku bertemu dengannya di musolla
ini, saat aku mengundang beliau diacara wisudaku. Sudah hampir enam tahun
tempat ini tak terjamah olehku.
Satu jam berlalu terasa baru lima menit aku
duduk disini, “Ratu Balqis..” sebuah suara memanggilku dari belakang. “
ummi...” aku memeluk sosok wanita yang telah berusia setengah abad itu, mencium
tangannya.
“apakabar ummi, maaf balqis jarang
kemari”
“ummi tahu, kamu sekarang tambah
sibuk, tapi ingat ibadah adalah nomor satu”
“insyaallah ummi, pesan ummi selalu ananda
lakukan”
“ibadah itu banyak anakku,
bersadakoh, sholat, menolong orang, termasuk nikah.” Ummi menatapku tajam.
“berapa umurmu nak? Apakah sudah terpikir olehmu untuk mencari pendamping dunia
dan akhiratmu kelak?” Pertanyaan ummi bak hujan panah yang tak dapat aku
hindari, pertanyaan itu selalu terngiang ditelingaku, hampir membuat aku stres.
“Allah belum mempertemukanku dengan Imamku, ummi” aku mencoba untuk senyum
pahit, ummi menyentuh bahuku, “mampirlah dulu kerumah ada seseorang yang ingin
menemuimu”.
Hatiku berdebar kencang, teringat
akan sepucuk surat tak bernama. Kukuatkan iman untuk menerima ceramah dari
ustaz dan Ummi, mereka berdua sudah kuanggap seperti kedua orangtuaku sendiri.
Diruang tamu pak Ustaz sudah
menunggu, beliau berbincang-bincang akrab dengan seorang tamu yang hanya
kulihat punggungnya. Ummi mempersilahkan masuk lewat pintu samping, rumah ini
masih asri sama seperti pertama kali aku masuk. Aku berbicara ringan dengan
ummi, sedikit bercanda. Tapi sebenarnya hatiku masih tertanya-tanya mengapa si
pengirim surat itu tidak menemuiku.
“sedang melamun apa nak?” ummi
memukul pundakku
“ah emm tidak ada Ummi, hanya
mengingat masalalu sewaktu masih dibimbing pak ustaz dan ummi” aku menyangkal
dalam hati aku berucap Ya Allah Maafkan Hamba yang telah berbohong dihadapan
Ummi.
“balqis, jika tidak keberatan ummi
mau nanya sesuatu yang sedikit pribadi” pertanyaan ummi terdengar formal tidak
seperti biasanya, hati ku semakin kencang entah mengapa degup jantukku terus
terpompa dengan cepat selama disini. Aku mencoba untuk tetap tenang, “ada apa
ummi, apa pun yang ummi tanyakan insyallah balqis akan menjawabnya”
“selama balqis disini, ummi melihat
perkembangan yang semakin baik, kamu tumbuh menjadi gadis solehah insyaallah.
Sebagai orang tua, ummi ingin melihat anaknya bahagia dunia dan akhirat, jika
ini bukan sebuah kelancangan ummi ingin mempertemukanmu dengan seseorang yang
sudah hampir sepuluh tahun dirimu kenal”
Aku terkejut ku tatap wajah ummi
dengan rasa penasaran dan cemas yang teramat besar, disatu sisi aku untuk
pertama kalinya berhadapan dengan kondisi canggung ini yaitu saat seorang
wanita dihadapkan kepada pertanyaan “ya atau tidak” untuk masa depannya. Disisi
yang lain aku terhenyak sepuluh tahun pria ini menungguku, siapakah pria ini?
Mengapa tidak dari dulu dia menanyakanku? Apakah dia menungguku untuk
benar-benar menjadi wanita yang sudah siap ditempah menjadi istri dan ibu dari
anak-anaknya kelak?
“temui ia didepan, nanti nak balqis
akan tahu jawabannya” aku masih terdiam seolah-olah ummi tahu apa yang aku
pikirkan. Dengan basmallah aku bersama ummi melangkah ruang tamu, sayup-sayup
terdengar suara dari ruang tamu.
“alhamdullilah, balqis sudah datang,
ayo silahkan duduk, nak” Ust. Subhan mempersilahkan aku duduk, yang kujawab
dengan anggukan. “sudah lama tidak mendengar kabarmu nak”
“Maaf pak ustaz, kesibukan membuat
ananda lalai dan melupakan keluarga disini, sekali lagi balqis mohon maaf pak
ustaz”
“tidak apa-apa anakku, hal itu sudah
biasa, balqis sehat kita semua gembira, bukan begitu ummi” ust. Subhan memang
murah hati, baik dan selalu bercanda tanpa harus menghilangkan wibawa beliau
sebagai seorang penceramah dan imam keluarga.
“abi sepertinya ada yang lebih tidak
sabar untuk dikenalkan” ummi sengaja mencari celah, membuat wajahku merah
seperti tomat begitu juga tamu yang sedari tadi menemani Ust. Subhan. “oh..iya
hampir lupa abi, ummi, maklum sudah tua” kami tertawa kecil memecah
kecanggungan.
“balqis, masih ingat dengan Hilman?”
Tanpa melihat wajahnya, aku memutar
memori ku hingga ke sepuluh tahun yang lalu. Saat rihlah di lereng pegunungan,
ya khusnul sempat memperkenalkan ku dengan seseorang yang tak lain adalah kakaknya
sendiri “hilman” dadaku berdegup
kencang, perlahan kutatap wajah pria yang dari tadi dan mungkin ialah pengirim
amplop putih itu.
“Assalamualaikum ukhti, masih ingat
ana? Ana kakaknya Khusnul, kita bertemu sepuluh tahun yang lalu”
Aku membenarkan dalam hatiku, kembali
aku tertunduk, masyaallah pertemuan itu hampir tak pernah terlintas dibenakku
bahkan aku teramat malu disaat aku bertemu pada waktu itu masih dalam keadaan
polos tanpa hijab.
“nak balqis, hilman datang bukan
hanya ingin mengingat masalalu tapi ada niat mulia yang ingin ia sampaikan, dan
sudah diamanahkan ke Abi”
Tanpa basa basi ust. Subhan langsung
ketitik persoalan yang membuat tubuhku panas dingin, apakah ini yang dirasakan
kebanyakan wanita dihadapan orang yang akan dijadikan Imam, akh aku terlalu
dalam menghayati kata-kata itu apakah ini lamaran? Hati ku terus berdesir
diusiaku yang hampir angka 3, membuat aku merasa canggung dalam posisi ini.
“sebagai guru dari hilman, abi ingin
menyampaikan niat baik hilman untuk mempersunting nak Balqis sebagai pendamping
hidupnya dunia dan akhirat, dan sebagai orang tua Balqis, abi hanya berharap
jawaban dari ananda tanpa paksaan”
Aku dan hilman masih tertunduk kaku,
aku memutar balikkan jemariku meremas-remasnya, terlihat memerah tapi tak ada
yang kurasakan, kutarik nafasku panjang-panjang “ya Abi Insyaallah balqis bisa menerima amanah itu”.
Dengan serentak Ust. Subhan dan Ummi
memanjatkan kata “aamiin” alhamdullilah. Hilman yang sedari harap-harap cemas
pun bernafas lega. Suasana berubah, ruangan yang hanya lebar 4x4 meter itu
seperti seluas lapangan bola yang berisi bunga-bunga indah yang sedang mekar.
Kumbang-kumbang saling saut menyaut memilih kembang, serbuk sari yang terbawa
angin seperti salju turun dimusim dingin. Indah.
3 tahun berlalu.
Reuni SMAN 26, terasa riuh rendah,
sayang kepala sekolah ku telah berpulang KeRahmatullah 5 tahun yang lalu,
padahal aku ingin sekali bertemu beliau disini. Aku ingin Berterimakasih
kepadanya disinilah kenangan itu berawal.
“ummii...lihat” suara putri kecilku
membuyarkan aku azzahra baru berumur 2,5 tahun tapi kata yang ia keluarkan
sudah begitu jelas. Gadis kecilku itu memegang seekor kupu-kupu berwarna kuning
kecoklatan. Aku tersenyum. Pandanganku langsung tertuju di pohon rindang yang
tingginya hampir melebihi tinggi sekolah ini.
Pohon yang dahulu masih terlalu muda bahkan hampir tumbang karena aku
terlalu sering bersandar disana.
Kurebahkan tubuhku dan berselunjur
seperti yang aku lakukan dimasa-masa SMA dulu, kupejamkan mata sejenak. Dan
disaat aku membuka mata, aku terpana mataku berkaca-kaca pemandangan dihapanku
sebuah Mesjid Megah Berkubah Emas terlihat indah dari bawah pohon Rindang ini.
Allah Ya Karim sungguh indah misteri
yang kau berikan kepadaku, Hidayah ini.
SELESAI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar