1. IMAM ABU HANIFAH
Putera Imam Abu Hanifah, yang namanya Hammad,
menuturkan: “pada suatu hari ayah datang ke rumahku.waktu itu dirumah ada
orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita berdiskusi tentang suatu
masalahtentu saja suara kami keras, sehingga tanpak ayah terganggu. Kemudian
saya menemui beliau, “hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?”, Tanya beliau.
Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu per satu.”apa yang sedang
kalian bicarakan?”, tanya beliau lagi. Saya menjawab :”ada satu masalah ini dan
itu”. Kemudian beliau berkata,”hai Hammad, tinggalkanlah ilmu kalam”.
Kata Hammad selanjutnya:”padahal setahu saya, ayah tak
pernah berubah pendapat, tidak pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya”.
Hammad kemudian berkata kepada Beliau :”wahai ayahnda, bukankah ayahndapernah
menyuruhku mempelajari ilmu kalam?”. “Ya, memang pernah”, jawab beliau. “tetapi
itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari ilmu kalam,”tambah
beliau.
“kenapa?, wahai ayahnda?”, tanya Hammad lagi. Beliau
menjawab, Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam ilmu kalam, pada mulanya
adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Namun syetan mengganggu mereka
sehingga mereka bermusuhan dan berbeda pendapat (Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah,
hal. 183-184).
Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: “jangan
sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalam masalah Ushuluddin
dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikutikamu dan akan
merepotkan kamu.
2. IMAM MALIK BIN
ANAS
Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin
Abdullah az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata:”saya tidak menyukai
Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tetap tidak menyukainya,
dan melarangnya seperti membicarakan pendapat Jahm bin Safwan, masalah Qadar
dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun kalam didalam agama, bagi
saya lebih baik diam saja, karena hal-hal diatas. (Jami’ Bayan al-Ilm wa
al-Fadhilah, hal 415)
Imam al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin
Isa, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata:”berdebat dalam agama itu aib
(cacat)”. Beliau juga berkata:”setiap orang datang kepada kita, ia ingin
berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolakapa yang telah dibawa oleh
malaikat Jibril kepada Nabi sallalahualaihiwassalam?”
Imam al-Harawi meriwayatkan dari Aisyah bin Abdul Aziz,
katanya, saya mendengar Imam Malik berkata: “hindarilah bid’ah”. Kemudian ada
orang bertanya:”apakah bid’ah itu, wahai AbuAbdillah?”. Imam Malik menjawab :”
penganut Bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama
Allah, sifat-sifat Allah, Kalam Allah, Ilmu Allah dan qudrah Allah. Mereka
tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para sahabat
dan tabi’intidak membicarakannya”. (Dzamm al-Kalam, lembar 173-B)
Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Syafi’i,
katanya, Imam Malik bin Anas, apabila kedatangan orang yang dalam agama
mengikuti seleranya saja, beliau berkata: “tentang diri saya sendiri, saya
sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara anda masih
ragu-ragu. Pergilah saja pada orang lain yang juga masih ragu-ragu dan debatlah
dia”, (al-Hidayah, VI/324).