Salju

Senin, 19 November 2012


PANGGIL AKU “ANAKKU” IBU
Tok...tok..tok..kucoba mengetuk pintu kamar ibu yang sejak semalam sore tak terbuka, setelah berdebat panjang dengan Herman adik bungsuku. Masih sama tak ada jawaban dari dalam.

“bu, buka pintunya, ibu belum makan, nanti mahnya tambah parah, jangan siksa diri seperti ini bu” dengan nada perlahan aku mencoba untuk membujuk ibu, nada putus asa terdengar di suaraku, aku menarik nafas tinggi, ibu masih tak memberikan jawaban walau itu sekedar batuk kecil yang ia selalu lakukan jika aku mengajaknya bicara.

Aku lemas didepan pintu, terduduk dan air mataku mengalir disudut pipi. Aku khawatir terjadi sesuatu kepada ibu. Tanpa pikir panjang aku berniat untuk mendobrak pintu dengan paksa.

Kubongkar perkakas bengkel ayah digudang belakang mencoba mencari sesuatu yang bisa aku guanakan untuk mendobrak pintu kamar ibu. Tanpa sadar sebuah kotak kayu tua terjatuh dari sudut ruangan. Awalnya aku mengacuhkannya tapi teringat pesan ayah “jika mengambil sesuatu kembalikan ketempat asalnya”. Walau aku tidak berniat untuk mengambil kotak tua itu paling tidak mengembalikan ketempatnya adalah pekerjaan yang harus aku lakukan. Dan aku ingin bengkel peninggalan ayah tetap tersusun rapi.

Kotak kayu itu terlihat usang dan tua, hatiku berfikir kenapa tidak dibuang saja. Tapi sepertinya kotak ini berisi sesuatu yang penting, karena tersimpan dengan rapi dan digembok yang sudah berkarat bahkan bisa dibuka dengan mudah. Dengan penuh penasaran aku mencoba untuk melihat isi didalamnya. Sebuah dokumen usang dan sebuah kompeng berwarna biru yang sudah lusuh, beberapa foto bayi yang lucu dan menggemaskan, dikelilingi kotoran kecoa dan kulit telur cicak yang telah menetas.

“SURAT KETERANGAN KELAHIRAN” dari Bidan yang ditulis tangan di secarik kertas yang hampir dimakan rayap.

Bukan judul atau pun bentuknya yang membuat aku tertegun tapi isi dari dokumen ini
“ telah lahir seorang anak wanita dengan berat 2,8 kg pada hari jum’at 9 Oktober 1985 dengan nama MUTIARA ARAFAH dari pasangan M. Sukri dan Maryana”

Tangan ku menggigil, kaki ku lemah, tubuhku rebah kelantai. Air mata kuderas mengalir, isak ku semakin kuat memecah bengkel yang hampir 6 tahun tak pernah ku kunjungi sejak meninggal ayah. Ayah yang ku panggil bertahun-tahun hingga akhir hayatnya.

Ingatanku kembali ke masa lalu disaat aku berusia 7 tahun, ibu tak pernah memanggilku dengan kata “nak”, diusiaku sedini itu aku sudah menjadi tulang punggung keluarga, membersihkan rumah, memasak, membantu ayah di bengkel dan menjualkan kue kesekolah. Semua ku lakukan dengan senang hati seperti pesan guru ngajiku saat itu “kita harus berbakti kepada orangtua”. Berbeda dengan saudara ku yang lain yang mendapat keistimewaan.

Aku membiayai sekolahku sendiri karena ibu selalu mengancamku jika aku meminta uang sekolah. Hingga aku lulus kuliah ibu tak pernah menyatakan kata-kata selamat dan nasehat ibu kepada anaknya.

“kau sudah tahu?” sebuah suara berat menghentikan tangisku
“ibu” jawabku dengan nada setengah terisak
“aku bukan ibumu, aku tak pernah memperlakukanmu seperti anakku, kenapa kau masih memanggilku ibu? Aku tak pantas kau panggil ibu, aku menyiayiakan mu, tapi kau selalu peduli padaku, saat anak kandungku yang kubesarkan dengan penuh kasih dan sayang, meninggalkan ku dan mencampakkan ku, kau merawatku dengan penuh pengabdian. Aku memperlakukanmu layaknya seorang pembantu, tapi kau jaga aku seperti permaisuri raja, apa pantas aku kau panggil “IBU”

“IBU” aku berlutut di kaki ibu, aku menangis terisak isak.
“IBU...aku butuh ridhamu, aku hanya ingin kau memanggil ku “ANAKKU”, aku memeluk kedua kaki ibu, aku tak peduli dia atau bukan ibuku yang aku tahu dialah ibuku.
“ANAKKU”

Aku terkejut tangisku terhenti aku memalingkan kepalaku menatap wajah ibu yang penuh air mata, kerutan di wajahnya seperti cahaya rembulan yang cerah, suara itu kata-kata itu lebih dari sejuta kata yang indah dimuka bumi ini. Ibu memelukku.
“anakku, berdirilah, maafkan ibu nak, semoga Allah memberikan mu tempat yang paling indah diakhirat kelak, ibu meridhaimu”

Aku tak bisa berkata-kata ku peluk erat tubuh ibu yang mulai lemah. Ibu menderita mah kronis, ia sering sakit-sakitan setelah kepergian ayah, ibu lebih banyak menyendiri karena tak seorang pun dari anak-anak ibu yang memperdulikan beliau. Aku terenyuh dan bahagia Ibu Ridha kepadaku, mendoakanku walau itu untuk terakhir kalinya.
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرَا.
“Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa”.

Aku tersenyum kepada dua nisan yang berdekatan, ayah dan ibu semoga Allah menempatkan mereka ditempat yang paling mulia disisiNYa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar