PANGGIL AKU “ANAKKU”
IBU
Tok...tok..tok..kucoba
mengetuk pintu kamar ibu yang sejak semalam sore tak terbuka, setelah berdebat
panjang dengan Herman adik bungsuku. Masih sama tak ada jawaban dari dalam.
“bu, buka pintunya,
ibu belum makan, nanti mahnya tambah parah, jangan siksa diri seperti ini bu”
dengan nada perlahan aku mencoba untuk membujuk ibu, nada putus asa terdengar
di suaraku, aku menarik nafas tinggi, ibu masih tak memberikan jawaban walau
itu sekedar batuk kecil yang ia selalu lakukan jika aku mengajaknya bicara.
Aku lemas didepan
pintu, terduduk dan air mataku mengalir disudut pipi. Aku khawatir terjadi
sesuatu kepada ibu. Tanpa pikir panjang aku berniat untuk mendobrak pintu
dengan paksa.
Kubongkar perkakas
bengkel ayah digudang belakang mencoba mencari sesuatu yang bisa aku guanakan
untuk mendobrak pintu kamar ibu. Tanpa sadar sebuah kotak kayu tua terjatuh
dari sudut ruangan. Awalnya aku mengacuhkannya tapi teringat pesan ayah “jika
mengambil sesuatu kembalikan ketempat asalnya”. Walau aku tidak berniat untuk
mengambil kotak tua itu paling tidak mengembalikan ketempatnya adalah pekerjaan
yang harus aku lakukan. Dan aku ingin bengkel peninggalan ayah tetap tersusun
rapi.
Kotak kayu itu
terlihat usang dan tua, hatiku berfikir kenapa tidak dibuang saja. Tapi sepertinya
kotak ini berisi sesuatu yang penting, karena tersimpan dengan rapi dan
digembok yang sudah berkarat bahkan bisa dibuka dengan mudah. Dengan penuh
penasaran aku mencoba untuk melihat isi didalamnya. Sebuah dokumen usang dan
sebuah kompeng berwarna biru yang sudah lusuh, beberapa foto bayi yang lucu dan
menggemaskan, dikelilingi kotoran kecoa dan kulit telur cicak yang telah
menetas.
“SURAT KETERANGAN
KELAHIRAN” dari Bidan yang ditulis tangan di secarik kertas yang hampir dimakan
rayap.
Bukan judul atau
pun bentuknya yang membuat aku tertegun tapi isi dari dokumen ini
“ telah lahir
seorang anak wanita dengan berat 2,8 kg pada hari jum’at 9 Oktober 1985 dengan
nama MUTIARA ARAFAH dari pasangan M. Sukri dan Maryana”
Tangan ku
menggigil, kaki ku lemah, tubuhku rebah kelantai. Air mata kuderas mengalir,
isak ku semakin kuat memecah bengkel yang hampir 6 tahun tak pernah ku kunjungi
sejak meninggal ayah. Ayah yang ku panggil bertahun-tahun hingga akhir
hayatnya.
Ingatanku kembali
ke masa lalu disaat aku berusia 7 tahun, ibu tak pernah memanggilku dengan kata
“nak”, diusiaku sedini itu aku sudah menjadi tulang punggung keluarga,
membersihkan rumah, memasak, membantu ayah di bengkel dan menjualkan kue
kesekolah. Semua ku lakukan dengan senang hati seperti pesan guru ngajiku saat
itu “kita harus berbakti kepada orangtua”. Berbeda dengan saudara ku yang lain
yang mendapat keistimewaan.
Aku membiayai
sekolahku sendiri karena ibu selalu mengancamku jika aku meminta uang sekolah.
Hingga aku lulus kuliah ibu tak pernah menyatakan kata-kata selamat dan nasehat
ibu kepada anaknya.
“kau sudah tahu?”
sebuah suara berat menghentikan tangisku
“ibu” jawabku
dengan nada setengah terisak
“aku bukan ibumu,
aku tak pernah memperlakukanmu seperti anakku, kenapa kau masih memanggilku
ibu? Aku tak pantas kau panggil ibu, aku menyiayiakan mu, tapi kau selalu
peduli padaku, saat anak kandungku yang kubesarkan dengan penuh kasih dan
sayang, meninggalkan ku dan mencampakkan ku, kau merawatku dengan penuh pengabdian.
Aku memperlakukanmu layaknya seorang pembantu, tapi kau jaga aku seperti permaisuri
raja, apa pantas aku kau panggil “IBU”
“IBU” aku berlutut
di kaki ibu, aku menangis terisak isak.
“IBU...aku butuh
ridhamu, aku hanya ingin kau memanggil ku “ANAKKU”, aku memeluk kedua kaki ibu,
aku tak peduli dia atau bukan ibuku yang aku tahu dialah ibuku.
“ANAKKU”
Aku terkejut
tangisku terhenti aku memalingkan kepalaku menatap wajah ibu yang penuh air
mata, kerutan di wajahnya seperti cahaya rembulan yang cerah, suara itu
kata-kata itu lebih dari sejuta kata yang indah dimuka bumi ini. Ibu memelukku.
“anakku,
berdirilah, maafkan ibu nak, semoga Allah memberikan mu tempat yang paling
indah diakhirat kelak, ibu meridhaimu”
Aku tak bisa
berkata-kata ku peluk erat tubuh ibu yang mulai lemah. Ibu menderita mah
kronis, ia sering sakit-sakitan setelah kepergian ayah, ibu lebih banyak
menyendiri karena tak seorang pun dari anak-anak ibu yang memperdulikan beliau.
Aku terenyuh dan bahagia Ibu Ridha kepadaku, mendoakanku walau itu untuk
terakhir kalinya.
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ
صَغِيْرَا.
“Alloohummaghfirlii
waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa”.
Aku tersenyum kepada
dua nisan yang berdekatan, ayah dan ibu semoga Allah menempatkan mereka
ditempat yang paling mulia disisiNYa.